“Dibalik
Rahasia Itu”
Malam telah berganti pagi, saat
itu Ferdi telah berkemas menuju Kota Pahlawan. Ferdi, “kamu tidak lupa bekal
yang mamak siapkan di meja itu?” ibu Ferdi berkata pada Ferdi, yang sudah
sampai pada pertengahan pintu. “Oh iyah mak, aku lupa” kata Ferdi, yang
mendekat kesamping mamaknya dengan mencium tangan dan segera berlari menuju
kedepan rumah untuk mengejar sepeda ontel milik Nori. Sambil mengayuh sepeda
usang itu Nori berbicara pada Ferdi. “Fer, bawaan luh banyak banget, gue capek
banget nih bawa sepedanya” kata Nori, sambil mengusap keringat yang bercucuran
pada keningnya. “Gak tau ni Nor, mamak bawain gue apa aja, asal bawa aja ini
tadi” jawab Ferdi. Sambil ngobrol-ngobrol yang panjang lebar, akhirnya
sampailah mereka berdua di terminal bus yang sebenarnya jarak dengan kampung
mereka agak jauh. Tapi rasa capek itu dihiraukan kedua remaja laki-laki yang
usianya belum genap 20 tahun itu, ketika bus jurusan Surabaya telah menampakan
dirinya. Segeralah mereka memasuki bus dengan cepat dan akhirnya dapat bangku
di ujung belakang. Sambil menikmati perjalanan itu, Ferdi dan Nori bercakap-cakap mengenai kepergiannya ke Ibu
kota Jawa timur itu. Walaupun Ferdi yakin bahwa kepergiannya ke kota Surabaya
akan membuatnya sukses. Tapi, bapaknya sangat tidak menyetujui kepergiannya
itu. Walaupun demikian, ia tetap bersikeras untuk memenuhi ajakan Nori untuk
bekerja di Surabaya. Karena Nori adalah sahabat Ferdi sejak kecil. Mereka
berdua dibesarkan di kampung Rancakatu, di daerah pelosok Magelang. Disana,
mereka berdua telah lama merencanakan kepergiannya ke kota Surabaya untuk
mengadu nasib di kota kelahiran Mamak Nori. Karena mamaknya telah mennggal,
akhirnya Nori pun ikut bapaknya kembali ke kampung halaman. Dan disaat itu pula
Nori ingin kembali ke kota Surabaya untuk memperjuangkan nasib seperti yang di
ajarkan mamaknya dahulu.
Waktu pun tak terasa, setengah hari sudah perjalanan mereka akhirnya sampai di kota pahlawan. Segeralah Nori naik angkot menuju untuk menujun rumah saudara sepupunya yang tidak jauh dari terminal itu. Setelah mereka sampai di pertigaan terakhir menuju rumah Sepupu Nori, tiba-tiba Handphone Ferdi berbunyi. Segeralah diangkat Ferdi, dan ternyata yang menelpon adalah bapaknya. Perasaan gembira Ferdi yang hampir sampai di rumah sepupu Nori berubah menjadi cemas dan gugup. Ketika mulai memencet tombol hijau di handphonenya, langsung terdengar suara tidak sedap dari hp usang Ferdi. “Ferdi, apakah kau tak mendengarkan apa nasihat bapak kemaren? Kau itu tak cocok dengan pekerjaan di Surabaya. Lebih baik kau di kampung saja. Kalau kau tak pulang besok pagi, kau pasti akan menyesal telah pergi kesana”. Cepat-cepat Ferdi menjawab “iya-iya pak, aku besok akan pulang”. Sampailah mereka di gubuk yang megah milik Sepupu Nori itu. Segeralah mereka beristirahat dikamar yang sangat besar dan disertai Kasur empuk yang terdampar di depan mata mereka. Walaupun kamar itu terlihat nyaman tetapi tidak senyaman pikiran Ferdi yang dihantui rasa bersalah karena tidak menuruti apa kata bapaknya. Apa hendak dikata, Ferdi telah sampai di kota Surabaya. Dan ketika dia kembali ke kampong halamannya, pastilah dia akan disuruh jadi peternak ayam milik pamannya. Berkecamuk pikiran Ferdi, apakah dia harus pulang atau tetap di kota keras itu bersama sahabatnya. Langsung saja Ferdi bertanya pada Nori, “Nor, gue bingung nih. Gue harus pulang atau tetap disini bersamamu luh?”. “Udah, luh pulang aja gak apa-apa, kan bapakmu udah ngancem luh” jawab Nori sambil tidur telentang di Kasur empuk itu. “Tapi gue pengen banget sukses bersama luh disini” kata Ferdi sambil mondar mandir di sebelah ranjang. “Kalau luh emang bener-bener pengen sukses disini ya gak begitu juga Fer, luh kan bisa sukses di kampong”. “Tapi gue kan gak suka angon ayam men” jawab ferdi dengan nada agak kesal. “udalah, mending luh segera tidur, udah malam ni” jawab Nori sambil memejamkan matanya. Sementara Nori tidur, Ferdi tak bisa tidur dan terus berputar-putar otaknya memikrkan hal yang buruk itu.
Gelap telah berubah menjadi pagi yang sejuk, karena pada saat itu memang musim hujan. Ferdi segeras bersiap-siap kembali ke kampong halamannya dengan wajah yang agak kecewa. “Taka pa Fer, mungkin ini yang terbaik buatmu” Nori berkata kepada ferdi dengan agak kehilangan. Tapi apa mau dikata, Ferdi memang sudah terlanjur mengatakan kepada bapaknya kalau dia pulang hari ini. Sambil diantarkan Nori kembali ke terminal yang dikunjunginya kemarin itu Nori berkata, “hati-hati ya Fer, aku yakin kamu juga bisa sukses kok Fer. Ferdi hanya mengangguk tanpa menjawab sepayah kata pun. Segeralah bus tujuan Semarang itu membawa Ferdi kembali menuju kampung kelahirannya. Setelah sampai di kampung itu, ferdi langsung menjalani kehidupannya sebagai peternak ayam yang telah dipikirkan olehnya sejak di dalam bus menuju kampung yang tak sebesar stadiun sepak bola itu.
Waktu pun tak terasa, setengah hari sudah perjalanan mereka akhirnya sampai di kota pahlawan. Segeralah Nori naik angkot menuju untuk menujun rumah saudara sepupunya yang tidak jauh dari terminal itu. Setelah mereka sampai di pertigaan terakhir menuju rumah Sepupu Nori, tiba-tiba Handphone Ferdi berbunyi. Segeralah diangkat Ferdi, dan ternyata yang menelpon adalah bapaknya. Perasaan gembira Ferdi yang hampir sampai di rumah sepupu Nori berubah menjadi cemas dan gugup. Ketika mulai memencet tombol hijau di handphonenya, langsung terdengar suara tidak sedap dari hp usang Ferdi. “Ferdi, apakah kau tak mendengarkan apa nasihat bapak kemaren? Kau itu tak cocok dengan pekerjaan di Surabaya. Lebih baik kau di kampung saja. Kalau kau tak pulang besok pagi, kau pasti akan menyesal telah pergi kesana”. Cepat-cepat Ferdi menjawab “iya-iya pak, aku besok akan pulang”. Sampailah mereka di gubuk yang megah milik Sepupu Nori itu. Segeralah mereka beristirahat dikamar yang sangat besar dan disertai Kasur empuk yang terdampar di depan mata mereka. Walaupun kamar itu terlihat nyaman tetapi tidak senyaman pikiran Ferdi yang dihantui rasa bersalah karena tidak menuruti apa kata bapaknya. Apa hendak dikata, Ferdi telah sampai di kota Surabaya. Dan ketika dia kembali ke kampong halamannya, pastilah dia akan disuruh jadi peternak ayam milik pamannya. Berkecamuk pikiran Ferdi, apakah dia harus pulang atau tetap di kota keras itu bersama sahabatnya. Langsung saja Ferdi bertanya pada Nori, “Nor, gue bingung nih. Gue harus pulang atau tetap disini bersamamu luh?”. “Udah, luh pulang aja gak apa-apa, kan bapakmu udah ngancem luh” jawab Nori sambil tidur telentang di Kasur empuk itu. “Tapi gue pengen banget sukses bersama luh disini” kata Ferdi sambil mondar mandir di sebelah ranjang. “Kalau luh emang bener-bener pengen sukses disini ya gak begitu juga Fer, luh kan bisa sukses di kampong”. “Tapi gue kan gak suka angon ayam men” jawab ferdi dengan nada agak kesal. “udalah, mending luh segera tidur, udah malam ni” jawab Nori sambil memejamkan matanya. Sementara Nori tidur, Ferdi tak bisa tidur dan terus berputar-putar otaknya memikrkan hal yang buruk itu.
Gelap telah berubah menjadi pagi yang sejuk, karena pada saat itu memang musim hujan. Ferdi segeras bersiap-siap kembali ke kampong halamannya dengan wajah yang agak kecewa. “Taka pa Fer, mungkin ini yang terbaik buatmu” Nori berkata kepada ferdi dengan agak kehilangan. Tapi apa mau dikata, Ferdi memang sudah terlanjur mengatakan kepada bapaknya kalau dia pulang hari ini. Sambil diantarkan Nori kembali ke terminal yang dikunjunginya kemarin itu Nori berkata, “hati-hati ya Fer, aku yakin kamu juga bisa sukses kok Fer. Ferdi hanya mengangguk tanpa menjawab sepayah kata pun. Segeralah bus tujuan Semarang itu membawa Ferdi kembali menuju kampung kelahirannya. Setelah sampai di kampung itu, ferdi langsung menjalani kehidupannya sebagai peternak ayam yang telah dipikirkan olehnya sejak di dalam bus menuju kampung yang tak sebesar stadiun sepak bola itu.
Dua tahun kehidupan Ferdi
dijalaninya sebagai peternak ayam, banyak susah duka yang dialami Ferdi. Tapi
kehidupan itu tetap dijalaninya dengan penuh kesabaran. Sampai pada akhirnya
Ferdi berani untuk mencalonkan dirinya sebagai kepala desa. Padahal sebelumnya
dia tidak ada keinginan untuk daftar sebagai kepala desa di kampung itu.
Walaupun umur Ferdi masih 23 tahun. Ternyata pada saat pemilihan berlangsung, dia
bisa memenangkan suara dari kedua pesaingnya yang terbilang lebih berusia
dibandingkan dirinya. Ternyata kunci kemenangan Ferdi adalah karena dia sering
menolong orang yang sedang kesusahan di kampung itu. Tak khayal, dia bisa
memenangkan pemilihan kepala desa itu dan akkhirnya menjabat sebagai kepala
desa Rancakatu. Dan menjadikan dirinya sebagai kepala desa termuda di kabupaten
Magelang.
Satu tahun kemudian, kehidupan
Ferdi menjadi semakin bahagia ketika dia mulai mencintai wanita dari kampung
sebelah yang akhirnya wanita itu menjadi istrinya. Dan disela-sela waktu
luangnya Ferdi berpikir, ternyata apa yang dikatakan bapak benar. Aku memang
bisa sukses di kampung halamanku sendiri. Dan mungkin ini adalah rahasia yang
telah disiapkan tuhan apabila aku menurut pada orang tuaku.
By.
NO Name
Tidak ada komentar:
Posting Komentar